mengenal FLU BABI

11.10
Influensa babi merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang sangat menular, disebabkan oleh virus
influensa tipe A yang termasuk dalam orthomyxovirus. Babi merupakan induk semang utama virus influensa
babi, namun demikian virus tersebut dapat juga menular pada manusia dan bangsa burung atau sebaliknya.
Infeksi virus influensa babi dapat menyebabkan batuk, demam, dispnu, kelemahan yang sangat, dengan cepat
menyebar pada sekelompok ternak babi dan dengan cepat pula sembuh. Pada kasus komplikasi, babi akan
mengalami bronchopneumonia yang dapat berakhir dengan kematian. Penyakit influensa babi belum pernah
ada di Indonesia, tetapi penyakit ini harus selalu diwaspadai mengingat banyak penyakit babi baru-baru ini
didiagnosis di Indonesia. Paper ini menggambarkan sejarah penyakit, penyebab, patogenesis, gejala klinis,
patologi, diagnosis, diagnose banding, pengobatan dan kontrol serta masalah penyakit influensa babi di
Indonesia.

PENDAHULUAN
Swine influensa swine (flu, hog flu, pig flu)
atau influensa babi adalah penyakit saluran
pernafasan akut pada babi yang disebabkan
oleh virus influensa tipe A. Gejala klinis
penyakit ini terlihat secara mendadak, yaitu
berupa batuk, dispnu, demam dan sangat
lemah. Penyakit ini dengan sangat cepat
menyebar ke dalam kelompok ternak dalam
waktu 1 minggu, umumnya penyakit ini dapat
sembuh dengan cepat kecuali bila terjadi
komplikasi dengan bronchopneumonia, akan
berakibat pada kematian (FENNER et al., 1987).
Penyakit virus influensa babi pertama
dikenal sejak tahun 1918, pada saat itu didunia
sedang terdapat wabah penyakit influensa
secara pandemik pada manusia yang menelan
korban sekitar 21 juta orang meninggal dunia
(HAMPSON, 1996). Kasus tersebut terjadi pada
akhir musim panas. Pada tahun yang sama
dilaporkan terjadi wabah penyakit epizootik
pada babi di Amerika tengah bagian utara yang
mempunyai kesamaan gejala klinis dan
patologi dengan influensa pada manusia.
Karena kejadian penyakit ini muncul
bersamaan dengan kejadian penyakit epidemik
pada manusia, maka penyakit ini disebut flu
pada babi. Para ahli kesehatan hewan
berpendapat bahwa penyakit babi ini ditularkan
dari manusia. Selain di negara Amerika
Serikat, wabah influensa babi dilaporkan
terjadi di berbagai negara Canada, Amerika
Selatan, Asia dan Afrika pada permulaan tahun
1968 (FENNER et al., 1987). Sementara itu, di
Eropa influensa babi diketahui pada tahun
1950-an, melanda negara Cekoslovakia,
Inggris dan Jerman Barat. Setelah itu, virus
menghilang untuk sementara waktu sampai
muncul kembali wabah tahun 1976 di bagian
Itali, yang kemudian menyebar ke Belgia dan
bagian selatan Perancis pada tahun 1979. Sejak
itu dengan cepat penyakit menyebar ke negara
Eropa yang lain.
Pada awal tahun 1976 di Amerika Serikat
terjadi suatu peristiwa yang sangat menarik
yaitu ditemukannya virus influensa babi yang
dapat diisolasi dari manusia, selanjutnya dapat
terungkap bahwa apabila manusia berhubungan
dengan babi sakit, maka akan dapat menjadi
terinfeksi dan menderita penyakit pernafasan
akut (O’BRIAN et al., 1977; ROTA et al., 1989).
Penyakit yang disebabkan oleh virus klasik
influensa babi serotipe H1N1 merupakan
penyakit pernafasan pada babi yang sangat
signifikan di Amerika utara, hampir seluruh
Eropa dan Asia bagian barat, wabah umumnya
terjadi pada musim gugur atau musim dingin.
Penyakit tersebut secara klinis tidak terdeteksi
di Inggris hingga tahun 1986. Sementara itu, di
Australia belum pernah dilaporkan adanya
penyakit baik secara klinis maupun serologis.
Dalam waktu 60 tahunan influensa babi tidak

(EASTERDAY, 1986). Karena penyakit
pernafasan babi selain disebabkan oleh virus
influensa A juga disebabkan oleh agen lainnya
maka istilah influensa babi diubah menjadi
Enzootic pneumonia.
Kerugian yang disebabkan penyakit
pernafasan sudah banyak dilaporkan, virus flu
babi merupakan penyakit yang memicu gejalagejala
atau sindrom penyakit pernafasan
komplex. virus flu babi sebagai penyebab
pertama dicirikan dengan adanya kematian
yang rendah, derajat kesakitan tinggi dan
kejadiannya sangat sebentar, jadi virus flu babi
dapat dikatakan sebagai pemicu adanya infeksi
bakteri sekunder.
Kerugian ekonomis yang terjadi
dikarenakan infeksi virus influensa yang terus
kembali berulang dan karena gejala klinis yang
tidak terlihat akibat adanya respon kekebalan
beberapa babi yang akan menjadi sakit kronis.
Pada kelompok ternak dengan kondisi baik
akan terlihat babi kerdil oleh karena laju
pertumbuhan bobot badan yang lama sehingga
terlambat untuk dijual. Dilaporkan juga adanya
kenaikan kematian anak babi, fertilitas
menurun, terjadi abortus pada kebuntingan tua
yang dapat diikuti wabah penyakit pada
kelompok ternak yang tidak kebal.
Masuknya influenza babi di Indonesia
harus diwaspadai terutama dengan telah
merebaknya kasus avian influenza (AI) pada
unggas yang disebabkan oleh H5N1 sejak
bulan Agustus tahun 2003, yang didahului
dengan dilaporkannya influensa pada itik di
Indonesia (RONOHARDJO P., 1983;
RONOHARDJO et al., 1985; RONOHARDJO, et
al., 1986). Virus AI yang menyerang kelompok
unggas disebabkan sub tipe lain, yang berbeda
dengan penyebab kematian pada babi, tapi
masih dalam tipe influensa A yang sama. Virus
AI kemungkinan juga dapat menyerang babi.
Namun demikian karena virus AI sangat
mudah bermutasi, mungkin saja sangat
membahayakan, tetapi masih belum dilaporkan
adanya kematian pada babi. Pada tulisan ini
digambarkan penyakit influensa yang
menyerang babi secara umum berdasarkan

EPIDEMIOLOGI
Penyebaran virus influensa dari babi ke
babi dapat melalui kontak moncong babi,
melalui udara atau droplet. Faktor cuaca dan
stres akan mempercepat penularan. Virus tidak
akan tahan lama di udara terbuka. Penyakit
bisa saja bertahan lama pada babi breeder atau
babi anakan.
Kekebalan maternal dapat terlihat sampai 4
bulan tetapi mungkin tidak dapat mencegah
infeksi, kekebalan tersebut dapat menghalangi
timbulnya kekebalan aktif.
Transmisi inter spesies dapat terjadi, sub
tipe H1N1 mempunyai kesanggupan menulari
antara spesies terutama babi, bebek, kalkun dan
manusia, demikian juga sub tipe H3N2 yang
merupakan sub tipe lain dari influensa A.
H1N1, H1N2 dan H3N2 merupakan ke 3
subtipe virus influenza yang umum ditemukan
pada babi yang mewabah di Amerika Utara
(WEBBY et al., 2000; ROTA et al., 2000;
LANDOLT et al., 2003), tetapi pernah juga sub
tipe H4N6 diisolasi dari babi yang terkena
pneumonia di Canada (KARASIN et al., 2000).
Manusia dapat terkena penyakit influensa
secara klinis dan menularkannya pada babi.
Kasus infeksi sudah dilaporkan pada pekerja di
kandang babi di Eropa dan di Amerika.
Beberapa kasus infeksi juga terbukti
disebabkan oleh sero tipe asal manusia.
Penyakit pada manusia umumnya terjadi pada
kondisi musim dingin. Transmisi kepada babi
yang dikandangkan atau hampir diruangan
terbuka dapat melalui udara seperti pada
kejadian di Perancis dan beberapa wabah
penyakit di Inggris. Babi sebagai karier
penyakit klasik di Denmark, Jepang, Italy dan
kemungkinan Inggris telah dilaporkan.
Kasus zoonosis yang dilaporkan menimpa
wanita umur 32 tahun, pada bulan September
1988, orang tersebut dirawat di rumah sakit
akibat pnemonia dan akhirnya meninggal 8
hari kemudian. Dari hasil pemeriksaan
ditemukan virus influensa patogen yang secara
antigenik berhubungan dengan virus influensa
babi (ROTA et al., 1989, WELLS et al.,1991).

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
104
Setelah diselidiki ternyata pasien tersebut 4
hari sebelum sakit mengunjungi pameran babi.
Sementara itu, hasil pengujian HI pada orang
yang datang pada pameran babi tersebut
menunjukkan sebanyak 19 orang dari 25 orang
(76%) mempunyai titer antibodi ≥20 terhadap
flu babi. Walaupun disini tidak terjadi wabah
penyakit, namun terdapat petunjuk adanya
penularan virus (WELLS et al., 1991).

PENYEBAB
Penyebab influensa yang ditemukan pada
babi, bersamaan dengan penyakit yang
langsung menyerang manusia. Pertama kali,
virus influensa babi diisolasi tahun 1930, sudah
banyak aspek dari penyakit tersebut yang
diungkapkan, antara lain meliputi tanda klinis,
lesi, imunitas, transmisi, adaptasi virus
terhadap hewan percobaan dan hubungan
antigenik dengan virus influensa lainnya serta
kejadian penyakit di alam.
Penyebab penyakit saluran pernafasan pada
babi adalah virus influensa tipe A yang
termasuk Famili Orthomyxoviridae. Virus ini
erat kaitannya dengan penyebab swine
influenza, equine influenza dan avian influenza
(fowl plaque) (PALSE and YOUNG,
1992).Ukuran virus tersebut berdiameter 80-
120 nm. Selain influensa A, terdapat influensa
B dan C yang juga sudah dapat diisolasi dari
babi. Sedangkan 2 tipe virus influensa pada
manusia adalah tipe A dan B. Kedua tipe ini
diketahui sangat progresif dalam perubahan
antigenik yang sangat dramatik sekali
(antigenik shift). Pergeseran antigenik tersebut
sangat berhubungan dengan sifat penularan
secara pandemik dan keganasan penyakit. Hal
ini dapat terjadi seperti adanya genetik
reassortment antara bangsa burung dan
manusia.. Ketiga tipe virus yaitu influensa A,
B, C adalah virus yang mempunyai bentuk
yang sama dibawah mikroskop elektron dan
hanya berbeda dalam hal kekebalannya saja.
Ketiga tipe virus tersebut mempunyai RNA
dengan sumbu protein dan permukaan
virionnya diselubungi oleh semacam paku
yang mengandung antigen haemagglutinin (H)
dan enzim neuraminidase (N). Peranan
haemagglutinin adalah sebagai alat melekat
virion pada sel dan menyebabkan terjadinya
aglutinasi sel darah merah, sedangkan enzim
neurominidase bertanggung jawab terhadap
elusi, terlepasnya virus dari sel darah merah
dan juga mempunyai peranan dalam
melepaskan virus dari sel yang terinfeksi.
Antibodi terhadap haemaglutinin berperan
dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang
mengandung haemaglutinin yang sama.
Antibodi juga terbentuk terhadap antigen
neurominidase, tetapi tidak berperan dalam
pencegahan infeksi.
Influensa babi yang terjadi di Amerika
Serikat disebabkan oleh influensa A H1N1,
sedangkan di banyak negara Eropa termasuk
Inggris, Jepang dan Asia Tenggara disebabkan
oleh influensa A H3N2. Banyak isolat babi
H3N2 dari Eropa yang mempunyai hubungan
antigenik sangat dekat dengan A/Port
Chalmers/1/73 strain asal manusia. Peristiwa
rekombinan dapat terjadi, seperti H1N2 yang
dilaporkan di Jepang (HAYASHI et al., 1993)
kemungkinan berasal dari rekombinasi H1N1
dan H3N2. Peristiwa semacam ini juga
dilaporkan di Italy, Jepang, Hongaria,
Cekoslowakia dan Perancis.
BEVERIDGE (1977) melaporkan bahwa pada
tahun 1935, WILSON SMITH menemukan virus
influensa yang dapat ditumbuhkan dengan cara
menginokulasikannya pada telor ayam
berembrio umur 10 hari. Setelah diuji dalam 2
hari, cairan alantoisnya mengandung virus
sebanyak 10.000 juta (1010) partikel karena
virus tersebut dapat menyebabkan aglutinasi
sel darah merah, maka dari kejadian tersebut
dikembangkan uji HA dan HI. Teknik ini
kemudian digunakan sebagai cara yang
termudah untuk digunakan di laboratorium.
Setelah penemuan tersebut banyak para
peneliti tertarik untuk mempelajari virus
influensa. Oleh sebab itu, sekarang banyak
ilmu pengetahuan mengenai virus influensa
telah diungkapkan dibandingkan dengan virus
lainnya yang menyerang manusia. Virus
influensa selain dapat ditumbuhkan dalam telur
berembrio juga dapat ditumbuhkan pada
sejumlah biakan jaringan (sel lestari) seperti
chicken embryo fibroblast (CEF), canine
kidney (CK), Madin-Darby canine kidney
(MDCK), (FENNER et al., 1986).
Virus influensa tidak dapat tahan lebih dari
2 minggu di luar sel hidup kecuali pada kondisi
dingin. Virus sangat sensitif terhadap panas,
detergen, kekeringan dan desinfektan. Sangat
sensitif terhadap pengenceran

desinfektan mutakhir yang mengandung
oxidising agents dan surfactants seperti Virkon
(Antec).

PATOGENESIS
Pada penyakit influensa babi klasik, virus
masuk melalui saluran pernafasan atas
kemungkinan lewat udara. Virus menempel
pada trachea dan bronchi dan berkembang
secara cepat yaitu dari 2 jam dalam sel epithel
bronchial hingga 24 jam pos infeksi. Hampir
seluruh sel terinfeksi virus dan menimbulkan
eksudat pada bronchiol. Infeksi dengan cepat
menghilang pada hari ke 9 (ANON., 1991). Lesi
akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada paruparu
karena aliran eksudat yang berlebihan
dari bronkhi. Lesi ini akan hilang secara cepat
tanpa meninggalkan adanya kerusakan.
Kontradiksi ini berbeda dengan lesi pneumonia
enzootica babi yang dapat bertahan lama.
Pneumonia sekunder biasanya karena serbuan
Pasteurella multocida, terjadi pada beberapa
kasus dan merupakan penyebab kematian.
(BLOOD and RADOSTITS, 1989)

GEJALA KLINIS
Pada kejadian wabah penyakit, masa
inkubasi sering berkisar antara 1-2 hari
(TAYLOR, 1989), tetapi bisa 2-7 hari dengan
rata-rata 4 hari (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).
Penyakit ini menyebar sangat cepat hampir
100% babi yang rentan terkena, dan ditandai
dengan apatis, sangat lemah, enggan bergerak
atau bangun karena gangguan kekakuan otot
dan nyeri otot, eritema pada kulit, anoreksia,
demam sampai 41,8oC. Batuk sangat sering
terjadi apabila penyakit cukup hebat, dibarengi
dengan muntah eksudat lendir, bersin, dispnu
diikuti kemerahan pada mata dan terlihat
adanya cairan mata. Biasanya sembuh secara
tiba-tiba pada hari ke 5-7 setelah gejala klinis.
Terjadi tingkat kematian tinggi pada anakanak
babi yang dilahirkan dari induk babi yang
tidak kebal dan terinfeksi pada waktu beberapa
hari setelah dilahirkan. Tingkat kematian pada
babi tua umumnya rendah, apabila tidak diikuti
dengan komplikasi. Total kematian babi sangat
rendah, biasanya kurang dari 1%. Bergantung
pada infeksi yang mengikutinya, kematian
dapat mencapai 1-4% (ANON., 1991).
Beberapa babi akan terlihat depresi dan
terhambat pertumbuhannya. Anak-anak babi
yang lahir dari induk yang terinfeksi pada saat
bunting, akan terkena penyakit pada umur 2-5
hari setelah dilahirkan, sedangkan induk tetap
memperlihatkan gejala klinis yang parah. Pada
beberapa kelompok babi terinfeksi bisa bersifat
subklinis dan hanya dapat dideteksi dengan
sero konversi. Wabah penyakit mungkin akan
berhenti pada saat tertentu atau juga dapat
berlanjut sampai selama 7 bulan. Wabah
penyakit yang bersifat atipikal hanya
ditemukan pada beberapa hewan yang
mempunyai manifestasi akut. Influensa juga
akan menyebabkan abortus pada umur 3 hari
sampai 3 minggu kebuntingan apabila babi
terkena infeksi pada pertengahan kebuntingan
kedua. Derajat konsepsi sampai dengan
melahirkan selama tejadi wabah penyakit akan
menurun sampai 50% dan jumlah anak yang
dilahirkan pun menurun.

PATOLOGI
Pada hewan yang terserang influensa tanpa
komplikasi, jarang sekali terjadi kematian. Jika
dilakukan pemeriksaan bedah bangkai lesi
yang paling jelas terlihat pada bagian atas dari
saluran pernafasan. Lesi terlihat meliputi
kongesti pada mukosa farings, larings, trakhea
dan bronkhus, pada saluran udara terdapat
cairan tidak berwarna, berbusa, eksudat kental
yang banyak sekali pada bronkhi diikuti
dengan kolapsnya bagian paru-paru (BLOOD
dan RADOSTITS, 1989). Terlihat adanya lesi
paru dengan tanda merah keunguan pada
bagian lobus apikal dan lobus jantung, yang
juga bisa terjadi pada lobus lainnya. Lesi lama
biasanya terdepresi, merah muda keabu-abuan
dan keras pada pemotongan. Pada sekitar
atalektase paru-paru sering terjadi emphysema
dan hemorhagis ptekhi. Lesi paru tersebut
sama dengan lesi pada Enzootic pneumonia
yang hanya bisa dibedakan dengan
histopatologi (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).
Pada pemeriksaan mikroskopik influensa babi,
akan terdeteksi adanya necrotizing bronkhitis
dan bronkhiolitis dengan eksudat yang
dipenuhi netrofil seluler. Terjadi penebalan
septa alveolar dan perubahan epithel bronchial.
Bronchi dipenuhi dengan neutrophil yang
kemudian dipenuhi sel mononukleal, pada

akhirnya terjadi pneumonia intersisial lalu
terjadi hiperplasia pada epithel bronchial. Pada
beberapa kasus hanya terlihat kongesti. Adanya
pembesaran dan edema pada limfoglandula
dibagian servik dan mediastinal. Pada limpa
sering terlihat pembesaran dan hiperemi yang
hebat terlihat pada mukosa perut. Usus besar
mengalami kongesti, bercak dan adanya
eksudat kathar yang ringan.

DIAGNOSIS
Diagnosis sementara terhadap penyakit
influensa babi didasarkan pada gejala klinis
dan perubahan patologi. Diagnosis
laboratorium dapat berdasarkan isolasi virus
pada alantois telur ayam berembrio dan dilihat
hemaglutinasi pada cairan alantois. Spesimen
yang paling baik untuk isolasi virus pada
influensa babi adalah cairan hidung yang
diambil sedini mungkin atau organ paru yang
diperoleh dari bedah bangkai (FENNER et al.,
1987) dan tonsils (SANFORD et al., 1989).
Mendiagnosis influensa babi dengan metoda
imunohistokimia sudah dilaporkan HAINES et
al., (1993) dengan menggunakan antibodi
poliklonal kemudian VINCENT et al., (1997)
menggunakan antibodi monoklonal. Kualitas
pengujian dengan antibodi monoklonal tersebut
lebih konsisten, karena latar belakang
pewarnaan yang rendah dan tidak terbatasnya
penyediaan antibibodi. Pada kasus penyakit
influensa babi yang khronis, diagnosis dapat
dilakukan secara serologi dengan
memperlihatkan peningkatan antibodi pada
serum ganda (paired sera) yang diambil
dengan selang waktu 3-4 minggu.
Untuk memeriksa antibodi terhadap virus
influensa dapat digunakan uji
haemagglutination inhibition (HI) (BLOOD dan
RADOSTITS, 1989), Immunodifusi single radial
dan virus netralisasi. Kenaikan titer 4x lipatnya
sudah dianggap adanya infeksi. Pada uji
serologis digunakan kedua antigen H1N1 dan
H3N2 (OLSEN et al., 2002).
Pada suatu percobaan, strain H1N1
(A/Swine/England/195852/92) yang diisolasi
dari babi pada saat terjadi kasus wabah, dicoba
disuntikkan pada babi SPF umur 6 minggu,
hasil menunjukkan bahwa diantara 1 dan 4 hari
setelah inokulasi terlihat adanya pireksia,
batuk, bersin, anoreksia. Sero konversi dapat
dideteksi 7 hari setelah infeksi. Virus dapat
diisolasi dari swab hidung dan jaringan sampai
4 hari setelah infeksi tetapi tidak dari feses.
Virus hanya dapat diisolasi dari serum yang
diambil pada hari pertama setelah infeksi.
Perubahan patologi pneumonia intersisial
dapat dilihat sampai 21 hari setelah infeksi, lesi
bronchi dan bronchus sampai 7 hari setelah
infeksi dan limfoglandula mengalami
hemoragik. Seperti juga yang ditulis BROWN et
al., (1993) bahwa sampel untuk isolasi virus
dapat berasal dari swab hidung/ tonsil, trachea
dan paru-paru yang diambil 2-5 hari dari sejak
munculnya gejala klinis. Semua sampel
disimpan dalam media transpor. Selain isolasi
virus, diagnosis juga dapat dilakukan dengan
mendeteksi antigen dengan uji fluorescent
antibody technique (FAT) pada sampel paruparu,
tetapi mempunyai kekurangan oleh
karena lesi akibat virus sangat menyebar
sehingga lesi dapat mendapatkan hasil sampel
yang negatif dan sampel harus benar-benar
segar dengan sedikit perubahan otolisis serta
FA slide tidak dapat disimpan lama, warna
akan pudar sehingga ditawarkan VINCENT et
al., 1997, metode deteksi swine influenza virus
(SIV) pada jaringan yang difiksasi dengan
metode imunohistokimia yang menggunakan
antibodi monoklonal.

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit influensa A pada babi yang ringan
akan dapat menjadi parah karena penyakit lain
seperti Pseudorabies (Aujeszky's disease),
Haemophillus parasuis, Mycoplasma
hyopneumonia, Actinobacillus (H)
pleuropneumonia atau Pasteurella multocida.
Keganasan dari infeksi influensa A babi
dapat meningkat pula bersamaan dengan
adanya infestasi cacing paru-paru, migrasi
larva ascaris melalui paru-paru dan serbuan
bakteria sekunder. Pada beberapa kasus
penyakit mirip influensa (influenza-like
illness), tidak dibarengi terisolasinya virus
influensa babi ataupun organisme lain, juga
terlihat adanya gejala klinis yang sama.
Hasil observasi lapangan diperkirakan
bahwa terdapat kemungkinan adanya hubungan
virus influensa babi (SIV) dengan porcine
respiratory coronavirus (PRCV) pada letupan
penyakit pernafasan. Pada observasi di tingkat

laboratorium gambaran klinik akan terlihat
lebih parah apabila berbarengan dengan
penyakit PRCV. Adanya suhu tubuh yang lebih
tinggi dari pada infeksi tunggal, juga akan
terlihat bersin dan batuk pada infeksi ganda
PRCV dan babi yang terinfeksi H3N2
(LANZA et al., 1992). Sedangkan gejala
demam, dispnu, pernafasan perut, batuk yang
terus menerus dilaporkan merupakan
kombinasi penyakit porcine reproductive and
respiratory syndrome (PRRS) dan SIV
(REETH et al., 1996).

SITUASI PENYAKIT DI INDONESIA
Penyakit influensa babi di Indonesia belum
pernah dilaporkan, namun demikian dengan
sudah ditemukannya penyakit babi seperti hog
cholera yang belum pernah ada sebelumnya
dan sangat merugikan, perlu dilakukan suatu
survei untuk dapat membuktikan ada atau
tidaknya penyakit influensa babi di Indonesia.
Mengingat kejadian pertama influensa pada
itik di Indonesia sudah dilaporkan
(RONOHARDJO P., 1983, RONOHARDJO P et al.,
1985; RONOHARDJO P, et al., 1986), maka
untuk meyakinkan ada atau tidaknya influensa
babi di Indonesia harus diadakan suatu penelitian
pendahuluan seperti survei lapangan.
Adanya penyakit influensa babi di negara
yang berdekatan dengan Indonesia dan juga
banyaknya impor babi bibit dari negara yang
berasal dari negara yang sudah banyak
kejadian influensa babi, tidak tertutup
kemungkinan adanya penularan penyakit dari
negara tersebut ke Indonesia seperti penyakit
PRRS. Pada penelitian yang dilakukan di
Balitvet dan telah dilaporkan sudah dicoba
untuk mengisolasi virus swine influensa
sebagai penyebab pneumonia pada babi, tetapi
masih belum berhasil mengidentifikasi,
sehingga penelitian tersebut masih perlu
dilanjutkan (Komunikasi pribadi).

PENGENDALIAN
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
penyakit influensa. Hanya saja pengobatan
dengan antibiotika seperti dengan penisilin,
sulfadimidin atau mungkin antibiotik yang
berspektrum luas dapat menghadang infeksi
bakteri dalam mencegah infeksi sekunder.
Pengamanan yang sangat penting adalah tidak
membuat stres hewan, seperti dengan membuat
bersih lingkungan yang bebas dari debu dan
menjaga hewan jangan sampai berdesakan,
memperbaiki sistem kandang seperti alas yang
baik, memberikan air minum yang banyak dan
bersih (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).
Usaha pengendalian dalam mengantisipasi
datangnya penyakit, terutama pada sekumpulan
atau kelompok ternak sangat sulit, karena
sekali penyakit datang, sangat sedikit sekali
yang dapat dikerjakan. Penyakit dengan sangat
cepat menulari babi yang lain. Hewan yang
sembuh biasanya hanya dapat tahan atau kebal
sampai 3 bulan (EASTERDAY, 1972).
RWEYEMAMU, 1970 melaporkan bahwa vaksin
inaktif yang berasal dari unggas dengan
menggunakan adjuvan sudah mulai digunakan,
namun oleh karena adanya perbedaan antigenik
maka harus dipikirkan kemungkinan
penggunaan vaksin lain yang mengandung
strain virus yang didapat dari daerah terkena.
Pencegahan penyakit influensa babi yang
telah dicoba dengan perlakuan vaksinasi
dilaporkan oleh TAYLOR (1986). Dua dosis
vaksin oil adjuvan (SuvaxynFlu-3, Duphor)
yang diaplikasikan dengan jarak pemberian 3
minggu. Cara ini banyak digunakan di Eropa
dengan tujuan untuk melindungi dari penyakit
dengan gejala dan penurunan produksi. Vaksin
tersebut mengandung A/Swine Ned/25/80 yang
dapat melindungi terhadap serangan virus
Eropa H1N1 dan A/Port Chalmers/1/73 yang
akan melawan hampir seluruh virus strain
H3N2. Sementara itu vaksin A/Philippines/
2/82 berguna untuk melindungi babi terhadap
virus dari strain Bangkok H3N2. Sedangkan
Maxi VacTM FLU merupakan vaksin inaktif,
oil adjuvant H1N1 yang diaplikasikan pada
babi umur 4-5 minggu, kemudian di vaksin
ulang setelah 2-3 minggu kemudian. Perlakuan
dapat menekan gejala klinis batuk dan
anoreksia.
Penyembuhan dilakukan secara
simptomatis dan pengobatan dengan
antimikrobial untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder. Babi harus dipelihara dalam
keadaan sanitasi yang baik, kondisi kandang
yang memadai dan eradikasi cacing askaris dan
cacing paru-paru. Desinfektan dapat digunakan
untuk melindungi hewan dari serangan kutu.
Pada kasus-kasus penyakit yang dilakukan

eradikasi, juga harus dilaksanakan
pengurangan populasi dan restocking.

KESIMPULAN DAN SARAN
Penyakit influensa babi adalah penyakit
yang dapat menular ke manusia disebabkan
oleh virus influensa tipe A, sub tipe H1N1,
H1N2 dan H3N2, sampai saat ini belum
terbukti ada di Indonesia. Namun demikian
penyakit influensa babi harus selalu
diwaspadai dengan banyaknya penyakit baru
yang menyerang babi dan telah terdeteksi di
Indonesia. Demikian juga dengan merebaknya
penyakit influensa unggas di Indonesia,
sehingga dalam mencegah dan menghindari
penyakit influensa babi tersebut, harus
dilaksanakan tata cara dan pelaksanaan
pemeliharaan babi secara baik. Kandang babi
harus diisolasi dan dipelihara jauh dari
perkandangan unggas maupun perumahan
penduduk, tambahan pula biosekuritas harus
dilaksanakan secara ketat karena sangat
penting dalam menjaga penularan virus.

Share this :

Previous
Next Post »